Kepatuhan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’) sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara hakiki, ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakaanlah yang pantas ditujukan kepadanya oleh lingkungan yang ditinggali. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya juga menjadi kemestian secara mutlak, dan sudah tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) yang patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya.
Kepatuhan masyarakat Nambakor kepada figur guru berposisi pada level
hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan
menekankan pada pengertian Kiai pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya
Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan
pada konteks moralitas yang diikat dengan kehidupan saat ini dan yang akan
datang. Dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita
di alam kehidupan akhirat. Oleh karena itu, ketaatan masyarakat Nambakor kepada
figur guru menjadi penanda khas mereka yang tidak perlu diragukan lagi
keabsahannya.
Kepatuhan masyarakat di Desa Nambakor kepada
figur Rato (pemimpin pemerintahan)
entah pemimpin daerah atau pemimpin di Desa menempati posisi hierarkis yang
terakhir. Figur Rato dicapai oleh
seseorang dari mana pun orang itu berasal bukan karena faktor Gen melainkan karena keberhasilan prestasi dalam
meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua masyarakat di Desa Nambakor
diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato.
0 komentar:
Posting Komentar