Kegiatan
pembuatan atau bertani garam terus ditekuni masyarakat Madura hingga kedatangan
bangsa asing yang memiliki ekspedisi pencarian rempah-rempah. Lambat laun
maksut dari bangsa asing tersebut berubah hingga ingin menguasai wilayah
indonesia, termasuk wilayah tambak garam yang dimiliki masyarakat.
Kegiatan
ekspoitasi tersebut tercatat sejak jaman VOC (Veerenigde Oost Indische
Compagnie), dari sisi ekonomi pembuatan garam di pantai Madura telah
membuka jalan bagi sirkulasi uang yang beredar. Pada abad XIX, penjualan ladang
garam sudah menjadi sesuatu yang lazim. Penjualan ladang garam hampir sama
tingkatnya dengan pewarisan (Kuntowijoyo, 1985).
Perjual-belian lahan antara masyarakat dan
pihak asing ini yang kemudian meninggalkan sengketa lahan hingga saat ini.
Transaksi yang disertai dengan perampasan oleh pihak kolonial Belanda, tercatat
di tahun 1936 penguasa lahan pertanian garam diharuskan melakukan perjanjian
penyewaan lahan kepada pihak kolonial yang berupa hak sewa selama 50 tahun.
Dengan perjanjian itu ladang garam dikuasai hingaa saat ini beralih dijadikan ladang
garam pemerintah (Yulinda, 2014).
Sesuai artikel LBH Surabaya (dalam Yulinda,
2014), intervensi pemerintah Hindia Belanda
terhadap usaha pengamanan rakyat dimulai dengan terbitnya Undang-undang
No. 25 tahun 1936 tentang Zout Monopoli. dilakukan tindakan pengambil
alihan usaha pengamanan rakyat dengan cara perampasan dan pembakaran
perkampungan petani garam.
0 komentar:
Posting Komentar